Minggu, 19 April 2015

Karakteristik Tokoh Wayang Drona

Drona lahir dalam keluarga brahmana (kaum pendeta Hindu). Ia adalah putera dari pendeta Bharadwaja, lahir di kota yang sekarang disebut Dehradun (modifikasi dari kata dehra-dron, guci tanah liat), yang artinya bahwa Drona atau Durna  berkembang  di luar tubuh manusia, yakni dalam Droon (tong atau guci).

Pada suatu hari,  Bharadwaja pergi bersama rombongannya menuju Gangga untuk mensucikan diri. Di sana ia melihat bidadari yang sangat cantik datang untuk mandi. Sang pendeta tidak mampu menguasai nafsunya sehingga menyebabkannya mengeluarkan air mani yang sangat banyak. Kemudian dia menampung air mani tersebut dalam sebuah pot atau drona, dan dari cairan tersebut Drona kemudian  lahir dan dirawat.

Drona menghabiskan masa mudanya dalam kemiskinan, ia belajar agama dan militer bersama-sama dengan pangeran dari Kerajaan Panchala bernama Drupada. Drupada dan Drona kemudian menjadi teman dekat dan Drupada, dalam masa kecilnya yang bahagia, berjanji untuk memberikan setengah kerajaannya kepada Drona pada saat menjadi Raja Panchala.

Drona menikah dengan Krepi, adik Krepa, guru dari kerajaan Hastinapura. Dari hasil pernikahan mempunyai putera bernama Aswatama.

Berguru pada Parasurama

Mengetahui bahwa Parasurama akan menularkan ilmu yang dimilikinya kepada para brahmana, Drona ingin ikut berguru. Namun ketika Drona datang, Parasurama telah memberikan segala ilmunya kepada brahmana yang lain. Merasa terharu  oleh keteguhan hati Drona, Parasurama memutuskan untuk menularkan  ilmu peperangan kepada Drona.

Drona dan Drupada

Demi kebutuhan hidup istri dan puteranya, Drona ingin terbebas dari kemelaratannya. Teringat kepada janji Drupada, Drona berkehendak memohon pertolongan. Namun sang Raja Drupada mengingkari pernah mempunyai janji kepada Drona
dan malahan memperlakukan Drona secara semena-mena. Untuk itulah, Drona pada akhirnya dendam dan berniat menuntut balas kepada Drupada.

Drona berangkat ke Hastinapura dengan harapan dapat mendirikan sekolah seni militer bagi para pangeran muda dengan meminta pertolongan Raja Dretarastra. Pada suatu hari, ia melihat banyak anak muda, yaitu para Korawa dan Pandawa yang sedang mengelilingi sumur. Ia bertanya kepada mereka tentang masalah apa yang terjadi, dan Yudistira, si sulung, menjawab bahwa bola mereka jatuh ke dalam sumur dan mereka tidak mengerti cara mengambilnya kembali.

Drona tertawa, dan menasihati mereka karena tidak berdaya menghadapi masalah yang sepele. Yudistira menjawab bahwa jika Sang Brahmana (Drona) mampu mengambil bola tersebut maka Raja Hastinapura pasti akan memenuhi segala keperluan hidupnya. Pertama Drona melempar cincin kepunyaannya, mengumpulkan beberapa mata pisau, dan merapalkan mantra Weda. Kemudian ia melempar mata pisau ke dalam sumur seperti tombak. Mata pisau pertama menancap pada bola, dan mata pisau kedua menancap pada mata pisau pertama, dan begitu seterusnya, sehingga membentuk sebuah rantai. Perlahan-lahan Drona menarik bola tersebut dengan tali.

Dengan keahliannya yang membuat anak-anak sangat terkesima, Drona merapalkan mantra Weda sekali lagi dan menembakkan mata pisau itu ke dalam sumur. Pisau itu menancap pada bagian tengah cincin yang terapung kemudian ia menariknya ke atas sehingga cincin itu kembali lagi. Karena terpesona, para bocah membawa Drona ke kota dan melaporkan kejadian tersebut kepada Bisma, kakek mereka.

Bisma segera sadar bahwa dia adalah Drona, dan dengan keberaniannya telah memberi contoh, Bhisma kemudian menawarkan agar Drona mau menjadi guru bagi para pangeran Kuru dan mengajari mereka seni peperangan. Kemudian Drona membangun  sekolah di dekat kota, dimana para pangeran dari berbagai kerajaan di sekitar negeri datang untuk belajar di bawah bimbingannya.

Saat para Korawa dan Pandawa menamatkan pendidikannya, Drona menyuruh agar mereka menangkap Raja Drupada yang memerintah Kerajaan Panchala dalam keadaan hidup-hidup. Duryodana, Dursasana, Wikarna, dan Yuyutsu mengerahkan tentara Hastinapura untuk menyerang Kerajaan Panchala, sementara Pandawa pergi ke Kerajaan Panchala tanpa pasukan perang. Arjuna menangkap Drupada serta membawanya ke hadapan Drona. Drona sesuai janji Drupada pada masa mudanya,  mengambil separuh dari wilayah kekuasaan Drupada, dan separuhnya lagi dikembalikan kepada Drupada.

Drupada tidak bisa menerima perlakuan Drona. Dengan dendam membara, Drupada melaksanakan persembahan agar dianugerahi seorang putera yang akan membunuh Drona dan seorang puteri yang akan menikahi Arjuna. Maka, lahirlah Drestadyumna, pembunuh Drona dalam peranh Bharatayuddha kelak, dan Dropadi, yang menikahi Arjuna dan para Pandawa.

Karakteristik Drona

Ketika mudanya, Durna bernama Bambang Kumbayana. Ketika itu Resi Durna begitu gagah dan tampan. Pakaian yang dikenakan Bambang Kumbayana selalu  mewah dan meyakinkan.  Tetapi ketampanannya menjadi hilang setelah dia dihajar habis-habisan oleh patih Gandamana.   Resi Durna selalu berkostum jubah   Pandhita.. Durna dikenal dengan watak ‘bermuka dua’ dan penuh prasangka buruk, meski ia menganggap dirinya sebagai  pandhita, namun. Drona juga dikenal sangat suka mendatangi para muridnya, agar dihormati oleh murid-murid dan keluarganya. Semua kebutuhannya disediakan.. Di balik jubahnya itu, Durna suka menyalahgunakan kebaikan  setiap orang yang minta pertolongan, untuk kepentingan Durna sendiri  Durna sering bercerita tentang keberhasilannya dalam menolong sesama, sehingga para tamunya terbius oleh bujukannya. Ia madeg sebagai paranormal, memang hanya untuk mengeruk keuntungan. Namun resminya, Durna adalah penasihat spiritual Astina dan Pandawa.

Jumat, 17 April 2015

Lakon Carangan


LAKON CARANGAN -  cerita carangan adalah lakon wayang yang keluar dari jalur pakem (standar) kisah Mahabarata atau Ramayana. Namun, para pemeran dan tempat-tempat dalam cerita carangan itu tetap menggunakan tokoh-tokoh Wayang Purwa yang berdasarkan Mahabarata atau Ramayana. Biasanya cerita carangan  dilakukan untuk menuhi pesanan dari pihak yang nanggap, atau untuk misi penerangan pemerintah.

Lakon carangan yang sudah terlalu jauh keluar dari jalur pakem, biasanya disebut lakon sempalan. Selain itu, dalam Wayang Purwa dikenal juga adanya lakon banjaran, yakni lakon yang khusus digubah oleh Ki Dalang tentang riwayat hidup lengkap (biografi) seorang tokoh wayang.

Cukup banyak lakon carangan kuno yang tidak sesuai dengan selera masyarakat penonton, akhirnya juga punah, tidak lagi dipergelarkan orang. Misalnya, beberapa lakon carangan yang menyangkut tokoh Bima: Bima Kacep, Bima Tulak, dan Bima Medamel.

Pada lakon-lakon itu diceritakan tentang Bima yang berbuat selingkuh dengan Dewi Uma; tentang Bima yang bertelanjang  berkeliling sawah dengan alat kelamin memancarkan sinar terang, dan Bima yang menanam ketan gondil agar dapat menurunkan raja-raja di Tanah Jawa.

Tema cerita lakon-lakon itu tidak sesuai dengan imajinasi masyarakat terhadap Bima, sehingga tidak diminati orang.

Lakon carangan yang beredar di daerah Surakarta dapat digolongkan menjadi tujuh golongan yakni:

1. Lampahan Raben (cerita perkawinan) contohnya: lakon Rabinipun Dursasana (perkawinan Dursasana); lampahan Rabinipun Wisanggeni (Perkawinan Wisanggeni) dan sebagainya.

2. Lampahan Wahyon (cerita wahyu) contohnya: Wahyu Pancadarma; Wahyu Tri Marga Jaya; Wahyu Widayat Pitu, Wahyu Triwibawa dan sebagainya.

3. Lampahan Malih-malihan (cerita perubahan wujud) contohnya: lakon Doraweca; Jayeng Katong; Samba Warangka; Suryadadari; Peksi Mas Merak; Rasatali-Talirasa dan sebagainya.

4. Lampahan Lahir-lahiran (cerita kelahiran) contohnya: lakon Lahiripun Danankusuma; Lahiripun Bambang Danasalira, Lahiripun Petruk, dan sebagainya.

5. Lampahan Murcan (cerita menghilang) contohnya: lakon Partawarayang; Jaka Brongsong; Turanggajati; Jongke Asmara Cipta, dan sebagainya.

6. Lampahan Lucon (cerita humor) contohnya lakon Petruk Kelangan Petel; Gareng Tetak; Bagong Dadi Ratu; Kresnadenta; Gareng Dadi Ratu, dan sebagainya.

7. Lampahan Wejangan (cerita tentang mistik) contohnya: lakon Senalodra; Gatotkaca Dados Guru; Pendawa Pitu; Arjuna Pitu; Arjuna Pingit; Mayangkara, dan sebagainya.

Prof. Dr. Soetarno salah seorang pengamat budaya wayang dari Surakarta mengatakan bahwa seluruh lakon Wayang Kulit gaya Surakarta dapat dibagi ke dalam dua bagian, yakni lakon pokok dan lakon carangan.

Lakon Pokok juga disebut lakon dapur, lakon jejer atau lakon lugu; menggambarkan cerita versi tradisional seperti yang dibawakan dalam Ramayana dan Mahabarata. Contohnya lakon Pandu Lahir.
Lakon Carangan tokoh-tokohnya mengambil dari lakon pokok, tetapi alur ceritanya sama sekali dibuat baru. Pada umumnya lakon-lakon tersebut disusun oleh para ahli pewayangan atau seniman dalang dan mempunyai fungsi pedagogis, dan kadang-kadang memuat kritik sosial atau ajaran spiritual.

Lakon carangan dapat dibedakam dalam tiga kategori :

1. Lakon Carangan Kadapur yang masih ada hubungannya dengan lakon pokok, berpegang pada tema yang sama dan menggunakan silsilah tokoh-tokoh yang sama.
Jenis lakon ini kurang lebih sifatnya seperti lakon-lakon pokok. Contohnya lakon Jaladara Rabi,  menceritakan perkawinan antara Kakrasana dengan Dewi Erawati. Lakon Utara dan Wiratsangka Krama, menceritakan perkawinan utara dan Wiratsangka putera raja Matswapati. Lakon Wirata Parwa, menceritakan pemunculan lagi para Pandawa di Wirata setelah mengalami pembuangan selama dua belas tahun.

2. Lakon Carangan adalah suatu cerita yang tidak ada sambungannya lagi dengan lakon-lakon pokok, dan ini benar-benar merupakan ciptaan baru. Contohnya lakon Dasa Warna, yang menceritakan Petruk menjadi raja di tanah sabrang; lakon Mustakaweni, yang menceritakan perkawinan antara Priyambada putra Arjuna dengan Mustakaweni.

3. Lakon Sempalan adalah jenis lakon yang mengambil tokoh utamanya sama dengan lakon pokok, tetapi temanya dirubah. Contohnya lakon Pregiwa Pregiwati yang menceritakan Endang Pregiwa dan Pregiwati mencari ayahnya dan pertemuan mereka dengan Gatotkaca, putra Bima; lakon Gatotkaca Sungging yang mengisahkan perkawinan antara Gatotkaca dengan Dewi Dahanawati anak Prabu Dahanamukti dari Kerajaan Dahanapura; lakon Swarga Bandang, yang mengisahkan Srikandi menyamar sebagai penari untuk mencari Arjuna di Swarga Bandang; lakon Dewa Ruci, menceritakan pertemuan Bima dan Dewa Ruci atau Bima mencari Tirta Pawitra (air kehidupan).

Tradisi pedalangan Surakarta juga terdapat jenis lakon pasemon (sindiran) atau gambaran terhadap peristiwa pada zaman kerajaan di Jawa. Lakon-lakon itu antara lain: lakon Swarga Bandang, yang dibuat pada zaman Panembahan Senapati di Mataram, merupakan penggambaran pada waktu bedah Mangir; lakon Rajamala, dibuat zaman kekuasaan Senapati di Mataram. Lakon ini pasemon terbunuhnya Arya Panangsang di Jipang Panolan; lakon Mustakaweni sampai lakon Petruk Dadi Ratu adalah pasemon kehidupan Paku Buwana I di Surakarta; lakon Gilingwesi (Werkudara Dadi Ratu) dibuat zaman Paku Buwana II, adalah pasemon bedahnya Keraton Kartasura; lakon Wijanarka ditulis pada zaman Paku Buwana III di Surakarta, adalah pasemon kembalinya Paku Buwana II dari Ponorogo setelah menjadi menantunya Anom Besari; lakon Suryaputra Maling dibuat pada zaman Paku Buwana III di Surakarta, adalah pasemon Pangeran Singasari menjadi pencuri; lakon Kresna Kembang dicipta pada zaman Paku Buwana IV di Surakarta, merupakan pasemon percintaan Ratu Pembayun dengan Raden Mas Hario Natawijaya.

Kamis, 25 Desember 2014

Tokoh Wayang Dewi Kunti

Dewi Kunti atau Perta sebenarnya adalah anak dari Surasena, raja wangsa Yadawa. Ketika Kunti masih kecil, ia dipungut anak oleh raja Kuntiboja karena raja tersebut tidak mempunyai anak. Untuk itulah akhirnya namanya berubah menjadi Kunti yang maksudnya adalah anak Kuntiboja. Dewi Kunti bersaudara dengan Basudewa, ayah dari Baladewa, Kresna, dan Sembadra.
Dewi Kunti menikah dengan raden Pandu dan mempunyai tiga orang anak: Yudistira, Bimasena, dan Arjuna. Pada waktu masih muda, Kunti pernah menyalahgunakan ajian Pameling yang dianugerahkan kepadanya untuk memanggil Dewa Surya. Akibatnya, Kunti mendapatkan anugerah seorang anak . Karena Kunti masih belum bersuami maka anak yang masih bayi tersebut dihanyutkan di sungai Gangga. Kelak, seorang kusir kereta bernama Adirata dari negeri Hastinapura memungutnya sebagai anak dan menamainya Basukarno.
Selain Yudistira, Bimasena dan Arjuna, Kunti juga menjadi ibu asuh bagi Nakula dan Sadewa. Nakula dan Sadewa adalah anak Pandu dari istri kedua yaitu Dewi Madrim. Sepeninggal Pandu dan Dewi Madrim, Kunti mengasuh Nakula dan Sadewa sebagaimana anaknya sendiri.

Beberapa hari sebelum perang Bharatayudha dimulai, Kunti mendapatkan pemberitahuan dari Krisna bahwa Adipati Karno adalah putranya dari Btara Surya yang ia hanyutkan di sungai Gangga. Betapa terkejut Kunti tiada terkira. Namun sebenarnya iapun sudah menduga dari anting dan baju yang dipakai Karno. Anting dan baju tersebut adalah pemberian Dewa Surya yang ikut dihanyutkan bersama Karno ketika bayi.
Dengan perasaan yang berkecamuk antara rindu dan perasaan berdosa, Kunti menemui Karno yang sedang bersemedi di tepian sungai Gangga. Dengan sabar ia menunggu hingga Karno menyelesaikan laku semedinya. Perasaannya semakin berkecamuk setelah melihat adipati Karno selesai melakukan persembahan.
Adipati Karno ketika melihat seorang wanita bangsawan cantik sedang menunggunya seketika menghampiri dan menanyakan maksud dan tujuannya.

Perbincangan empat mata antara Kunti dan Basukarno dimulai. Kunti menceriterakan kejadian yang sebenarnya tentang siapa sejatinya Basukarno. Disertai tangisan pilu seorang ibu, Kunti memohon agar Basukarno bersedia berkumpul kembali bersama saudara-saudaranya Pandawa dan berpihak pada Pandawa. Namun jawaban dari Karno membuat hati Kunti semakin teriris. Basukarno menolak permohonan Kunti dan tetap teguh mempertahankan kesetiaannya pada Duryudana, seorang raja Hastina sekaligus sahabat yang telah mengangkat harkat dan martabatnya dari seorang sudra yang dihina dan dicemooh menjadi seorang bangsawan yang mulia. Namun Basukarno memberikan janjinya pada Kunti untuk tidak akan memerangi saudara-saudaranya yang lain selain Arjuna. Hanya akan ada peperangan hidup dan mati antara dirinya dan Arjuna. 

Setelah perang Bharatayudha berakhir, Dewi Kunti berpamitan pada anak-anaknya akan meninggalkan keduniawian dan lebih mendekatkan dirinya pada Sang Hyang Widhi. Bersama-sama dengan sepupunya, Drestarastra dan Gendari, Kunti meninggalkan istana menuju hutan di tepian sungai Gangga. Kunti dan sepupunya meninggal bersamaan terjadinya kebakaran hutan tempat mereka bertapa.

Ciri-ciri fisik Dewi Kunti dalam pewayangan. Dewi Kunti tergolong tokoh putren luruh dengan posisi muka tumungkul. Bermata liyepan, hidung lancip dengan mulut salitan. Bermahkota gulung keling dengan hiasan jamang sadasaler, sumping prabangayun. Ada penggambaran sinom yang menghiasi dahinya.Tubuh berbusana putren dengan memakai semekan, pinjung dan sampir bermotif bludiran. Dodot yang dipakai bermotif parang rusak seling gurdha dengan kain panjang bermotif cindhe puspita. Tokoh ini ditampilkan polos tanpa perhiasan. Umumnya muka dan badan gembleng.

Selasa, 23 Desember 2014

Tokoh Wayang Sengkuni

Sengkuni sebenarnya adalah putra dari raja negara Palasajenar. Ia kelak akan menggantikan sebagai raja. Sewaktu mudanya bernama Harya Suman. Ketika negara Mandura diperintah oleh Prabu Kuntiboja, baginda mengadakan perlombaan memilih calon suami bagi Dewi Kunti. Dengan diikuti adiknya perempuan, Dewi Gendari, Haryo Suman  hendak ikut serta di dalam perlombaan, tetapi terlambat datangnya. Di jalan ia berjumpa dengan Raden Pandu yang telah menang di dalam perlombaan itu. Harya Suman hendak merebut Dewi Kunti dan terjadilah perang tetapi kalah dan menyerahkan adiknya, Gendari, sebagai penebus kekalahannya itu. Setibanya di Astina, Dewi Gendari dikawinkan dengan Raden Destarastra. Dewi Gendari marah karena sebenarnya ia ingin diperistri oleh Pandu. Harya Sumanpun berjanji untuk membantu Dewi Gendari melampiaskan sakit hatinya.

Dalam pewayangan Jawa, pada mulanya Harya Suman berwajah tampan. Ia mulai menggunakan nama Sengkuni setelah wujudnya berubah buruk akibat dihajar habis-habisan oleh patih Gandamana pada masa pemerintahan raden Pandu di Hastina. Patih Gandamana tidak terima dirinya difitnah oleh Harya Suman dengan mengatakan kepada raden Pandu bahwa patih Gandamana telah berkhianat dan bersekutu dengan musuh. Setelah berwajah buruk itulah, Harya Suman berubah nama menjadi Sengkuni yang berasal dari kata "saka" dan "uni" yang artinya berubah menjadi buruk akibat ulah mulutnya sendiri.

Setelah Destarastra menjadi raja Astina, Harya Sengkuni diangkat menjadi Patih. Harya Sengkuni pandai berbicara, dan ahli dalam bidang politik dan pemerintahan tetapi ia tidak jujur. Kepandaiannya selalu digunakannya untuk bertipu daya. Tetapi karena kepandaiannya itu, ia berguna juga bagi negara Astina. Adat kelakuan yang demikian menyebabkan terjadinya di dalam bahasa Jawa perumpamaan Seperti Sakuni bagi seseorang yang banyak akalnya dan licik. Karena pandainya menggunakan bahasa dan berputar lidah, kata-kata Sengkuni selalu dalam maksudnya dan bisa menjerat lawannya. Mengingat asal-usulnya, seorang orang yang mulia dan berhak menjadi raja negara Palasajenar, tetapi sesudah ia mengikuti saudara perempuannya yang kemudian diperistri Prabu Destarastra, raja negara Astina yang mempunyai seratus orang anak, maka ia pun memberatkan Astina.

Di negara Astina, Sengkuni mempunyai sahabat karib, ialah Pandita Durna yang bersamaan tabiat dengan dia. Kedua tokoh itu memimpin Astina di dalam keadaan dan persoalan yang sulit-sulit. Di dalam pewayangan mereka umumnya dianggap tokoh-tokoh tak baik, padahal mereka bukan orang-orang sembarangan dan hanya oleh karena mereka berpihak pada Astina, dianggaplah mereka sebagai tokoh-tokoh tak baik. Dalam perang Baratayuda, Sengkuni mati dirobek-robek mulutnya oleh Wrekodara. Namun dalam versi lain, Sengkuni mati oleh senjata kuku pancanaka Wrekudara yang dimasukkan ke lubang dubur Sengkuni. Karena hanya tempat itu satu-satunya kelemahan Sengkuni.
Peristiwa-peristiwa besar yang diaktori oleh Sengkuni antara lain :" Pandawa dadu " dan "Bale sigala-gala"

Sakuni bermata kedondongan, berhidung mungkal gerang, berbentuk batu asahan yang sudah aus, bergigi gusen, berjenggot. Kedua tangannya berlainan bentuk, yang satu tangan raksasa dan yang lainnya menunjuk, seperti tangan dagelan. Bergelang, berpontoh, dan berkeroncong. Kepala berketu udeng. Bersunting kembang kluwih. Berkalung ulur-ulur. Berkain rapekan tentara, bercelana cindai. Dalam cerita Sakuni mengidap sakit napas. Digambar tampak bahu tangan belakang agak naik, menandakan, bahwa orangnya mempunyai sakit napas. Matinya Sakuni melambangkan, bahwa orang pandai bicara yang tak jujur sepantasnya kalau dirobek-robek mulutnya.

Minggu, 07 Desember 2014

Cerita Wayang Wahyu Cakraningrat

Cerita wayang Wahyu Cakraningrat menceriterakan tentang perjalanan tiga orang satriya menempuh marabahaya dalam usahanya untuk dapat memperoleh kekuasaan. Ketiga satriya tersebut adalah raden Lesmana Mandrakumara, raden Samba Wisnubrata dan raden Abimanyu.
Wahyu Cakraningrat sendiri adalah wahyu yang dianggap sebagai syarat untuk mendapatkan kekuasaan tersebut. Konon, siapapun yang mendapatkannya maka keturunannya akan dapat memegang tampuk kekuasaan.

Untuk mendapatkan wahyu cakraningrat ini sendiri tidak mudah karena harus melalui laku tapa brata yang berat.
Semula wahyu Cakraningrat tersebut masuk kedalam tubuh raden Lesmana Mandrakumara yang melakukan tapanya di hutan Gangguwirayang. Namun Lesmana Mandrakumara tidak bisa mengontrol diri ketika muncul godaan dari putri Pamilutsih yang merupakan jelmaan dari dewi Maninten. Akhirnya wahyu cakraningrat keluar dari tubuhnya.

Orang kedua yang mendapatkan kesempatan berkah wahyu cakraningrat adalah raden Samba Wisnubrata. Putra dari prabu Kresna itupun dianggap tidak lulus ketika ujian menghampirinya. Ketika dua orang, lelaki dan perempuan yang mengaku anak dan bapak menghampirinya dan ingin mengikutinya, dengan sikap sombong dan arogan dia mengusir sang bapak karena dianggap sudah terlalu tua untuk mengikutinya. Namun dia merayu anak perempuannya agar bersedia ikut dengannya. Lelaki tua dan anak perempuan itu akhirnya mengaku sebagai jelmaan dari wahyu cakraningrat dan dewi Waminten dan memutuskan bahwa wahyu cakraningrat tidak pantas berada dalam tubuh yang arogan. Dan keluarlah wahyu itu dari tubuh raden Samba.

Wahyu Cakraningrat kemudian masuk ke tubuh Abimanyu sebagai pertapa ketiga. Wahyu itu masuk ketika hari telah menjelang malam. Segera setelah mendapatkan wahyu, raden Abimanyu keluar dari pertapaannya. Tubuhnya segar, wajahnya terlihat berseri-seri bercahaya sebagai tanda wahyu Cakraningrat telah manjing bersatu dengannya. Ketika raden Abimanyu akan kembali pulang ke negerinya Amarta, ditengah jalan dicegat oleh para kurawa yang hendak merebut wahyu cakraningrat. Namun niat itu tidak berhasil dengan baik karena Abimanyu tetap bisa mempertahankan keberadaan wahyu itu dalam dirinya.

Prabu Kresna ketika mengetahui raden Samba anaknya gagal mendapatkan wahyu cakraningrat, berkehendak menikahkan salah seorang putrinya, Dewi Siti Sundari, dengan Abimanyu. Harapannya agar kelak keturunannya dapat menjadi penguasa. Namun dewa berkehendak lain karena Siti Sundari ternyata mandul. Abimanyu hanya mempunyai satu putra yaitu Parikesit dari rahim dewi Utari. Kelak, Parikesit yang akan menjadi penerus tahta kerajaan Astina setelah perang Bharatayudha berakhir. Konon, Parikesit juga dianggap sebagai orang yang telah menurunkan raja-raja yang berkuasa di pulau Jawa.

Jumat, 05 Desember 2014

Cerita Wayang Karno Tanding

Karno tanding adalah pertempuran terbesar dalam perang Bharatayudha. Pertempuran antara adipati Karno disatu sisi melawan Arjuna disisi lain.

Arjuna dan adipati Karno sebenarnya adalah saudara sekandung berlainan ayah. Dilahirkan dari ibu bernama Kunti Nalibronto, Arjuna merupakan anak dari Pandu Dewanata.
Sedangkan adipati Karno lahir karena kesalahan Kunti dimasa mudanya yang telah menyalahgunakan Ajian Pameling untuk memanggil dewa Surya. Oleh dewa Surya, Kunti diberi seorang anak yang dititipkan ke rahimnya.
Merasa malu karena hamil tanpa adanya suami, akhirnya anak yang lahir lewat telinga Kunti tersebut di larung ke sungai Gangga. Kelak anak yang bernama Basukarno tersebut ditemukan oleh seorang kusir kerajaan bernama Adiroto

Karno tanding adalah pertempuran dua saudara kandung berlainan ayah yang mempunyai kepandaian dan kesaktian yang seimbang. Sebelum pertempuran bharatayudha, Kunti telah mempertemukan keduanya dan memohon kepada adipati Karno agar mau bergabung dengan Pandawa untuk melawan Kurawa.  Namun permintaan tersebut ditolak oleh Adipati Karno. Sebagai satriya yang telah dibesarkan dan diangkat derajatnya oleh Duryudana, tidak sepantasnya Karno berkhianat. Adipati Karno merasa telah banyak berhutang budi. Dan kewajiban dia sebagai satriya untuk membalasnya.

"Ibu...Saya tidak dendam kepada ibu yang telah membuang saya ke sungai gangga ketika masih bayi. Itu semua adalah takdir yang harus saya jalani. Namun demikian saya tidak dapat mengabulkan permohonan ibu untuk bergabung dengan saudara-saudara saya Pandawa. Bukan karena saya tidak mencintai mereka. Tapi lebih dikarenakan saya telah berhutang budi kepada Kurawa, khususnya Duryudana. Duryudanalah yang telah membesarkan saya dan mengangkat derajat saya. Saya tidak mau menjadi satriya pengecut yang hanya muncul disaat-saat senang dan lari ketika mereka membutuhkan saya. Apa kata Dewata jika saya melakukan itu. Ma'afkan saya, Ibu..." demikian adipati Karno memberikan penjelasannya.
Seketika suasana haru menyelimuti dada mereka. Tidak ada kata yang terucap selain hanya airmata yang membasahi pipi. Mereka berpelukan lama.

Akhirnya perang Bharatayudhapun pecah. Adipati Karno muncul dengan kereta perangnya dengan prabu Salya sebagai kusirnya. Sementara di pihak lain, Arjuna muncul dengan kereta perang yang dikusiri prabu Kresna.
Ketika pertempuran terjadi, keduanya saling menghujankan anak panah. Tetapi tak satupun mengenai keduanya. Sepertinya keduanya sama-sama tidak tega melukai lawannya. Kadang kala hujan panah antara keduanya berhenti sesaat hanya untuk sekedar saling beradu pandang.

Mengetahui gelagat seperti itu, prabu Kresna yang menjadi sais kereta perang Arjuna mengambil strategi. Ketika Arjuna mulai memasang senjata andalannya panah pasopati ke gendewanya, sontak prabu Kresna menyentak tali kekang kudanya hingga kuda itu bergerak maju kedepan laksana terbang. Seketika panah pasopati melesat tepat menebas leher adipati Karno. Gugurlah anak dewa Surya itu tersungkur ke bumi.
Arjuna marah besar kepada prabu Kresna karena perbuatannya. Karena Arjuna memang tidak pernah berniat untuk mengarahkan pasopati ke adipati Karno.

" Ketika pertempuran semakin lama, akan semakin banyak memakan korban dari kedua belah pihak. Berarti rakyat pula yang nantinya akan menderita.
Ini pertempuran, Dimas. Ketika ada senopati yang gugur, itulah tugas mulia yang telah diembannya." prabu Kresna bertutur dengan bijak.

Pada akhirnya Arjunapun harus pasrah menerima takdir hidupnya sebagai senopati yang telah membunuh saudara kandungnya sendiri.
Inilah perang. Dalam perang selalu akan ada pihak yang tersingkir. Tidak peduli siapa yang benar. Karena kebenaran yang hakiki hanyalah milik Allah SWT semata. Wallahu'alam bishowab.

Sabtu, 16 Agustus 2014

Karakteristik Wayang Dewi Anggraeni



Karakteristik wayang Dewi Anggraeni


Dewi Anggraeni
Dewi Anggraeni merupakan istri dari Prabu Ekalaya, raja Paranggelung. Dia merupakan keturunan dari bidadari Warsiki. Adapun sifat dari Dewi Anggraeni, disamping berwajah cantik, dia bersifat setia, murah hati, baik budi, sabar dan jatmika, menarik hati dan sangat setia kepada suaminya

Alkisah, Arjuna pernah jatuh cinta pada Dewi Anggraeni dan berusaha untuk merayunya. Namun ditolak oleh Dewi Anggraeni dan dilaporkannya perbuatan Arjuna tersebut kepada suaminya. Mendengar laporan istrinya, Prabu Ekalaya merasa cemburu dan marah. Kemudian Prabu Ekalaya menantang Arjuna untuk berkelahi. Dia tidak rela jika istrinya diganggu Arjuna.

Pernah suatu ketika, Prabu Ekalaya ingin berguru kepada Resi Drona tetapi ditolak. Prabu Ekalaya tidak kekurangan akal. Dia membuat patung yang menyerupai Resi Drona yang dianggap sebagai gurunya. Setiap kali akan memulai latihan, Prabu Ekalaya menyembah terlebih dahulu kepada patung Resi Drona seakan-akan dia sedang berhadapan dengan sang Guru sendiri.

Suatu hari, ketika Prabu Ekalaya sedang berlatih di hutan, dia mendengar suara anjing menggonggong. Dan tanpa melihat obyeknya, dia melepaskan anak panah kearah suara berasal. Anak panah tersebut tepat mengenai mulut anjing tersebut. Para Pandawa yang melihat kejadian tersebut melaporkannya kepada Resi Drona.

Resi Drona kemudian menghampiri Prabu Ekalaya. Melihat kedatangan orang yang dikagumi dan dihormatinya sebagai gurunya, Prabu Ekalaya seketika menghaturkan sembah. Namun ternyata ketulusan Prabu Ekalaya tidak mendapatkan sambutan seperti yang diharapkannya. Bahkan Resi Drona menghendaki agar Prabu Ekalaya memotong ibu jari tangan kanannya yang memakai cincin sakti Mustika Ampal. Hal itu sebagai Dhaksina atau wujud dari rasa terimakasih Prabu Ekalaya yang telah menganggap Resi Drona sebagai guru.

Sebagai murid yang berbakti, Prabu Ekalaya menuruti permintaan gurunya. Namun akibat dari itu semua, hilanglah semua kesaktian Prabu Ekalaya. Ketika bertempur dengan Arjuna, dia gugur di tangan Arjuna.

Sementara Dewi Anggraeni, sebagai wujud kesetiaannya sebagai istri sejati, dia rela melakukan bela pati atau bunuh diri untuk membela kehormatan dirinya dan suaminya. Kematian Dewi Anggraeni merupakan wujud kesetiaan istri terhadap suami. Meskipun dia mendapat godaan dan rayuan dari Arjuna, sang lelananging jagad, namun cinta dan kesetiaan Dewi Anggraeni tak tergoyahkan.